Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kekafiran.” (QS. Al-Ma’idah: 44)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kezaliman.” (QS. Al-Ma’idah: 45)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kefasikan.” (QS. Al-Ma’idah: 47)
Imam Ibnul Jauzi berkata, “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah karena menentang hukum itu dalam keadaan dia mengetahui bahwa Allah telah menurunkannya sebagaimana halnya keadaan kaum Yahudi, maka dia adalah kafir. Adapun barangsiapa yang tidak berhukum dengannya karena kecondongan hawa nafsunya tanpa ada sikap penentangan -terhadap hukum Allah, pent- maka dia adalah orang yang zalim lagi fasik.” (lihat Zaadul Masir, hal. 386)
Abu ‘Ali berkata, “Sesungguhnya orang yang mencari selain hukum Allah karena dia tidak ridha dengan hukum Allah itu maka dia adalah kafir. Inilah keadaan kaum Yahudi.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [7/494])
Thawus menjelaskan maksud “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kekafiran.” Beliau berkata, “Hal itu bukanlah kekafiran yang -secara otomatis- menyebabkan keluar dari agama.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [3/120] cet. Dar Thaibah)
Thawus juga meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang makna ayat di atas. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Itu bukan kekafiran sebagaimana yang mereka sangka.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak) (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [3/120] cet. Dar Thaibah)
Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan dari Thawus dari Ibnu ‘Abbas mengenai maksud ayat di atas. Ibnu ‘Abbas berkata, “Hal itu adalah penyebab kekafiran. Ia bukanlah kekafiran seperti halnya orang yang kafir kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.” (lihat al-Qaul al-Ma’mun, hal. 17)
Dalam riwayat yang lain, Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah maka dia telah melakukan perbuatan yang menyerupai perbuatan orang kafir.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [7/497])
Ibnu Mas’ud dan al-Hasan menafsirkan, “Ayat itu berlaku umum bagi siapapun yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, baik dari kalangan umat Islam, Yahudi, dan orang-orang kafir. Artinya, apabila dia meyakini dan menghalalkan perbuatannya itu. Adapun orang yang melakukannya sementara dia berkeyakinan dirinya melakukan perbuatan yang haram, maka dia tergolong orang muslim yang berbuat fasik…” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [7/497])
Imam al-Qurthubi berkata, “Apabila orang tersebut berhukum dengannya -yaitu bukan dengan hukum yang diturunkan Allah- karena dorongan hawa nafsu atau kemaksiatan, maka itu adalah dosa yang masih bisa mendapatkan ampunan berdasarkan kaidah Ahlus Sunnah yang menetapkan [terbukanya] ampunan bagi para pelaku dosa besar.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [7/498-499])
Ibnul Qoyyim berkata, “Sesungguhnya berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah mencakup dua jenis kekafiran; ashghar dan akbar, tergantung keadaan orang yang mengambil keputusan hukum. Apabila dia meyakini bahwa dia wajib menerapkan hukum Allah atas kejadian ini namun dia berpaling darinya karena maksiat dan di saat yang sama dia mengakui bahwa dirinya layak untuk menerima hukuman maka ini adalah kufur ashghar. Namun, apabila dia meyakini bahwa hal itu tidak wajib, atau dia bebas [untuk mengikutinya atau tidak, pent], sementara dia yakin bahwa itu adalah hukum Allah; maka ini adalah kufur akbar. Adapun apabila dia tidak tahu atau tersalah, maka orang ini terhitung sebagai pelaku kekeliruan -yang tidak disengaja- sehingga baginya berlaku hukum orang yang tak sengaja berbuat kesalahan.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [2/400])
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyimpulkan, bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah dihukumi kafir pada 3 keadaan: [1] Apabila dia meyakini bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah. Karena segala hukum yang bertentangan dengan hukum Allah adalah hukum jahiliyah. Keadaan orang ini seperti keadaan orang yang menghalalkan zina dan khamr. [2] Apabila dia meyakini bahwa hukum selain Allah sejajar dengan hukum Allah. [3] Apabila dia meyakini hukum selain Allah lebih baik daripada hukum Allah(lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/69] cet. Maktabah al-‘Ilmu)
Syaikh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi menambahkan, “Barangsiapa yang berkeyakinan bahwa hukum Allah sudah tidak cocok untuk diterapkan pada masa kini sehingga kita hanya wajib menerapkan undang-undang rekayasa [manusia] dengan dalih hukum Allah habis masa berlakunya, telah lewat, dan sirna (tidak cocok, pent). Maka ini kekafirannya lebih parah daripada yang lainnya…” (lihat Transkrip Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 66)
Sebagian ulama berpendapat bahwa mengganti hukum syari’at dengan undang-undang buatan manusia yang diberlakukan secara umum sehingga hukum selain Islam yang lebih dominan adalah kufur akbar yang dapat mengeluarkan dari agama (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul oleh Abdullah bin Sa’ad Aba Husain hal. 297-301, lihat juga Fitnatu at-Takfir, hal. 98)
Meskipun demikian, tidaklah setiap orang yang mengganti hukum syari’at dengan undang-undang buatan manusia dapat dengan serta-merta dikafirkan begitu saja. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Ketika kami katakan bahwa pelakunya adalah kafir, maka yang kami maksud adalah perbuatannya itu mengantarkan dirinya kepada kekafiran. Namun, bisa jadi orang yang menetapkan aturan tersebut mendapat udzur (sehingga tidak bisa dikafirkan, pent). Semisal dia terkecoh dengan pernyataan, “Hal ini tidak bertentangan dengan Islam.” “Hal ini termasuk maslahat mursalah.” “Masalah ini diserahkan Islam kepada manusia [terserah bagaimana mereka mengaturnya, pent].” (lihat al-Qaul al-Mufid [2/69])
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin berkata, “Bahkan, seandainya ada seseorang yang memiliki keyakinan antara dirinya dengan Rabbnya, bahwa diantara penguasa tersebut (pemerintah muslim) ada orang yang benar-benar kafir keluar dari agama lantas apa faidah menampakkan sikap itu dan menyebarluaskannya kecuali justru membangkitkan kekacauan?” (lihat Fitnatu at-Takfir, hal. 35)
Hendaklah kita mengambil ibrah/pelajaran dari kejadian yang menimpa Imam Ahmad bin Hanbal yang dengan jelas dan tegas mengeluarkan pernyataan tentang kafirnya orang yang berkeyakinan al-Qur’an adalah makhluk (keyakinan Jahmiyah). Meskipun demikian, kita dapati beliau tidak dengan serta merta mengkafirkan pemerintah dan semua dedengkot Jahmiyah yang menyerukan kekafiran itu. Beliau tidak memberontak kepada penguasa dan tidak pula memprovokasi rakyat untuk memberontak kepada penguasa saat itu yang memaksa umat -bahkan sampai menyiksa, memenjara, dan membunuh para ulama- agar meyakini al-Qur’an adalah makhluk!! (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 263)
Ketika mendengar ada sebagian orang yang hendak melakukan pemberontakan kepada penguasa pada waktu itu, Imam Ahmad mengatakan, “Subhanallah! Subhanallah! Pertumpahan darah! Pertumpahan darah! Aku tidak sepakat dengannya dan aku tidak memerintahkan hal itu. Bersabar di atas keadaan kita sekarang ini lebih baik daripada terjerumus ke dalam fitnah. Karena terjadinya fitnah [pemberontakan] akan membuat darah tertumpah di mana-mana, harta-harta dirampas, dan kehormatan diinjak-injak…” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 264)
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Memberontak kepada para pemimpin terjadi dalam bentuk mengangkat senjata, dan ini adalah bentuk pemberontakan yang paling parah. Selain itu, pemberontakan juga terjadi dengan ucapan; yaitu dengan mencaci dan mencemooh mereka, mendiskreditkan mereka dalam berbagai pertemuan, dan mengkritik mereka melalui mimbar-mimbar. Ini akan menyulut keresahan masyarakat dan menggiring mereka untuk memberontak terhadap penguasa. Hal itu jelas merendahkan kedudukan pemerintah di mata rakyat. Ini artinya, pemberontakan juga bisa terjadi dalam bentuk ucapan/provokasi.” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 272)
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz menjelaskan, “Bukanlah termasuk manhaj salaf membeberkan aib-aib pemerintah dan menyebut-nyebut hal itu di atas mimbar. Karena hal itu akan mengantarkan kepada kekacauan [di tengah masyarakat] sehingga tidak ada lagi sikap mendengar dan taat dalam perkara yang ma’ruf, dan menjerumuskan kepada pembicaraan yang membahayakan serta tidak bermanfaat. Akan tetapi cara yang harus diikuti menurut salaf adalah dengan menasehatinya secara langsung antara dirinya dengan penguasa tersebut. Atau mengirim surat kepadanya. Atau berhubungan dengannya melalui para ulama yang memiliki hubungan dengannya, sehingga dia bisa diarahkan menuju kebaikan.” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 271)
Pada masa al-Hajjaj seorang pemimpin yang kejam dan bengis berkuasa, Hasan al-Bashri memberikan nasehat, “Wahai umat manusia! Demi Allah, tidaklah al-Hajjaj dijadikan Allah berkuasa atas kalian kecuali sebagai bentuk hukuman [atas dosa-dosa kita]. Maka janganlah kalian menghadapi [ketetapan] Allah ini dengan pedang (memberontak). Akan tetapi wajib atas kalian untuk menghadapinya dengan sikap tenang dan penuh ketundukan.” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 275)